Acara ini berlangsung di Eastpark Hotel Yogyakarta yang menghadirkan sejumlah pakar hukum terkemuka, salah satunya adalah Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita.
Dalam paparannya, Prof. Romli menyoroti adanya serangkaian dugaan kekeliruan yang terjadi dalam penanganan kasus Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, yang terjerat kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Ia mengemukakan bahwa terdapat setidaknya delapan kekeliruan yang dilakukan oleh hakim dan penegak hukum dalam proses penyelesaian kasus tersebut, salah satunya terkait dengan aspek moral.
"Jelas ada dugaan kekeliruan, kekhilafan. Saya menyebutnya ada delapan kekeliruan atau kekhilafan dalam kasus ini. Pertanyaan saya, apakah delapan kekeliruan itu masih bisa disebut kekhilafan atau sudah mengarah kepada kesesatan? Jika menurut saya, ini sudah di luar konteks norma, terutama dalam hal moral. Tidak boleh zalim dalam menegakkan hukum," tegas Romli usai acara, dilansir dari Jogja.suara.com.
Menurut Romli, sejak awal proses hukum kasus Mardani H. Maming seharusnya tidak dilanjutkan, karena fakta-fakta hukum yang ada dinilai kabur dan tidak dapat dibuktikan dengan jelas.
Ia berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penyidik tidak cukup kuat untuk membenarkan kelanjutan dari proses hukum ini.
"Sejak awal, kasus ini sebenarnya tidak layak untuk dilanjutkan ke proses peradilan. Fakta-fakta hukumnya kabur dan sulit untuk dibuktikan. Ada banyak siasat yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk terus memaksakan kasus ini," jelas Romli.
Salah satu strategi yang dinilai keliru oleh Romli adalah penggunaan pasal-pasal yang dianggap tidak relevan dengan konteks kasus. Ia mencontohkan penggunaan Pasal 12B dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai upaya untuk mempermudah pembuktian unsur pidana dalam kasus tersebut.
"Untuk mempermudah pembuktian, penegak hukum malah menggunakan Pasal 12B, yang patut diduga tidak sepenuhnya relevan dengan kasus ini. Ini seolah-olah dipaksakan agar mudah dinyatakan bersalah," ungkap Romli.
Lebih lanjut, Romli menyatakan bahwa kasus ini seharusnya dihentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Namun, hal tersebut tidak dilakukan, dan KPK justru terus memaksakan agar kasus ini berlanjut ke proses pengadilan.
"Seharusnya penyidik KPK sudah menghentikan kasus ini dengan SP3. Tapi nyatanya KPK tidak melakukan itu dan malah memaksakan kasus ini untuk diteruskan ke pengadilan," ujarnya.
Acara bedah buku ini dihadiri oleh sejumlah akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa, yang turut memberikan pandangan serta berdiskusi mengenai implikasi dari penanganan kasus yang sarat akan kekhilafan tersebut. Buku yang dibahas dalam acara ini juga diharapkan dapat memberikan pencerahan lebih luas mengenai pentingnya moralitas dan integritas dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Diskusi yang berlangsung di acara ini menyoroti isu-isu kritis terkait peran hakim dan penegak hukum dalam memastikan keadilan yang tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis, tetapi juga moral dan etika.
Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak terkait, terutama dalam konteks penegakan hukum di masa mendatang.
Dengan adanya acara bedah buku ini, CLDS Fakultas Hukum UII berupaya memberikan sumbangsih pemikiran dalam mengkaji ulang praktek penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam hal penanganan kasus-kasus besar yang menyedot perhatian publik.(Hsn)
0 Komentar