Hal tersebut terungkap, setelah dilakukan pengecekkan pada aplikasi pengelola BPHTB dan dokumen SSPD tahun 2021, terdapat 2.216 transaksi peralihan hak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 337 wajib pajak dengan 897 transaksi mendapat perlakuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) bahkan hingga enam kali transaksi.
Padahal, jika merujuk pada UU nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, Pasal 87 ayat (4) yang menyatakan bahwa besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60 juta untuk setiap wajib pajak. Hal itu turut dipertegas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Muratara nomor 1 tahun 2017 tentang pajak daerah pada Pasal 70 ayat (4) yang menyatakan besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.60 juta untuk setiap wajib pajak.
Dari hasil klarifikasi Tim Auditor BPK RI dengan Kepala Bidang PBB dan BPHTB serta Analis Keuangan Pusat/Daerah Bapenda diketahui bahwa selama ini apabila terdapat permohonan oleh satu wajib pajak untuk lebih dari satu transaksi peralihan hak, maka perhitungan BPHTB atas masing-masing transaksi tersebut selalu diberikan NPOPTKP. Bapenda tidak mengetahui apabila penerapan NPOPTKP melekat pada wajib pajak bukan pada transaksi.
Menurut catatan BPK RI, hal tersebut disebabkan lantaran Kepala Bapenda kurang mengawasi dan mengendalikan penetapan BPHTB, dan Kabid PBB dan BPHTB masih memperhitungkan NPOPTKP atas transaksi BPHTB yang kedua dan seterusnya dari setiap wajib pajak.
Hal ini menyebabkan, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Muratara hanya mampu memperoleh capaian sebesar 17,28% atau senilai Rp.172.799.311 dari target pendapatan BPHTB tahun 2021 sebesar Rp.1 milyar.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Bens Indonesia belum memperoleh keterangan dari pihak terkait yakni Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Muratara. [BN1]
0 Komentar