Perpustakaan terapung yang dibuat tersebut ditempatkan disalah satu icon wisata yang dimiliki Kabupaten Muratara, yakni di Objek Wisata Danau Rayo yang berlokasi di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit.
Pada tahun 2020 lalu, anggaran sebesar Rp100 juta digelontorkan APBD Muratara demi meningkatkan minat baca sekaligus kunjungan wisata dilokasi tersebut.
"Ide awalnya, untuk meningkatkan minat baca masyarakat, sehingga dibuatlah program perpustakaan terapung, sekaligus meningkatkan kunjungan wisata ke Danau Rayo," ungkap Kasi Kegemaran Membaca Dinas Perpustakaan Muratara, yang sekaligus bertindak selaku PPTK kegiatan Perpustakaan Terapung, Eti Suryadiningsih, S.Pd., Rabu (15/9).
Sayangnya, perahu yang dijadikan objek perpustakaan terapung tersebut, kini tinggal bangkai tanpa pemanfaatan bahkan pemeliharaan dari instansi terkait yang memotori kegiatan ini.
"Kalau tidak salah namanya perpustakaan terapung. Lebih setahun perahu itu dibuat. Sampai hari ini belum pernah digunakan sama sekali, dan sudah empat kali tenggelam," ujar Sukarto serta Cik Wan, yang merupakan warga sekitar objek wisata Danau Rayo.
Sejak dibuat, sambung Sukarto, perahu itu menjadi bangkai tak terurus. Hanya berbentuk perahu tanpa kelengkapan perpustakaan terapung seperti nama kegiatan.
"Dari awal cuma ada perahu, enggak ada mesinnya. Kalau disebut perpustakaan terapung, seharusnya ada kelengkapan pendukung lainnya diperahu itu," ujarnya.
Sementara itu, Eti Suryadiningsih, S.Pd., mengaku, jika berdasarkan usulan awal, program Perpustakaan Terapung memerlukan anggaran sebesar Rp250 juta. Namun, dampak pandemi mengakibatkan anggaran perpustakaan terapung terpangkas hingga tersisa Rp100 juta saja.
"Karena anggarannya cuma Rp100 juta, hanya perahu saja, tidak bermesin dan tanpa kelengkapan lainnya. Untuk pihak pelaksananya Darwin, perusahaan (CV) nya lupa. Konsultan pengawasnya lupa ibu. Kalau ukuran perahu ibu tidak ingat, rinciannya ada di DPA, yang jelas sudah dilakukan serah terima. Kalau waktu serah terimanya ibu enggak ingat bulan berapa," papar Eti.
Sambung Eti, perahu tersebut memang belum dimanfaatkan karena kelengkapan perpustakaan terapung menunggu anggaran pada tahun berikutnya, begitupun dengan pengadaan mesin penggerak.
"Cak mano kito ndak makai nyo, alat nyo (mesin, red) belum lengkap, dak mungkin pakai dayung," cetus Eti yang menegaskan tak mungkin memanfaatkan perahu tak bermesin itu.
Bahkan, masih menurut Eti, Perahu bernama Perpustakaan terapung itu, tak hanya telah diserahterimakan dari pihak pelaksana ke Dinas Perpustakaan, tetapi telah diserahterimakan pula ke Dinas Pariwisata untuk dimanfaatkan.
"Itu sudah diserah terimakan ke Dinas Pariwisata tahun lalu, mengenai pemanfaatannya seharusnya tanya ke Dinas Pariwisata," terang Eti.
Aneh bukan, ketika Dinas Perpustakaan menciptakan ide membuat "Perpustakaan Terapung" yang tercipta hanya perahu karam. Setelah menyedot anggaran Rp100 juta, dengan dalih membuat perpustakaan terapung. Kapal yang sudah 4 kali karam itu, kini telah dilimpahkan Dinas Perpustakaan ke Dinas Pariwisata, demi menghilangkan tanggung jawab atas ide yang tak sesuai rencana itu.
Lantas, bagaimana pertanggung jawaban dimata hukum, ketika uang negara yang dibelanjakan tak memberikan azas manfaat "Total Lost" justru merugikan keuangan negara, terlebih lagi pada masa pandemi.
Jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. [BN1]
0 Komentar